SAMOSIR |Lintas Rakyat| – Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS) bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menggelar dialog publik memperingati Hari Tani Nasional 2025 dengan tema “Tiada Keadilan Ekologis Tanpa Keadilan Agraria”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 25 September 2025, bertempat di Sopo Perjuangan Golat Simbolon, Desa Sijambur, Kecamatan Ronggurnihuta, Kabupaten Samosir, yang menjadi bagian dari Bius Sitolu Hae Horbo.
Bius Sitolu Hae Horbo merupakan komunitas masyarakat adat yang memperjuangkan tanah ulayatnya dari klaim kawasan hutan. Bius ini terdiri dari tiga golat: Golat Simbolon, Golat Sitanggang, dan Golat Naibaho.
Sebelum dialog dimulai, peserta mengikuti ibadah singkat yang dipimpin Praeses Distrik VII HKBP Samosir, Pdt. Rintalori Sianturi, M.Th. Acara juga dihadiri oleh Camat Ronggurnihuta serta Kepala Desa Sijambur, yang menyampaikan sambutan dukungan terhadap perjuangan petani dan masyarakat adat.
Petani sebagai Penggerak Ekonomi
Susi Halawa dari KSPPM, yang bertindak sebagai moderator, membuka diskusi dengan mengingatkan bahwa petani masih menjadi tulang punggung ekonomi Samosir. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB kabupaten tetap besar, tetapi jumlah tenaga kerja di sektor ini terus menurun: dari 66,64 persen (2022) menjadi 59,63 persen (2024).
“Identitas kita petani. Tapi ironis, petani makin berkurang. Ini yang harus kita kritisi dan sampaikan langsung kepada pemerintah,” tegas Susi.
Tanah sebagai Kunci Keadilan
Henrika Sitanggang, Ketua STKS, menekankan bahwa keadilan ekologis ditentukan oleh siapa yang menguasai tanah. Menurutnya, rata-rata petani di Samosir hanya memiliki 2–5 hektar lahan.
“Kita butuh organisasi yang kuat, mulai dari kelompok desa sampai jaringan nasional. Pemerintah sering membuat trauma, jadi yang utama adalah kemandirian organisasi. Kalau kita kuat dari dalam, baru kolaborasi bisa positif,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan soal aturan sempadan danau serta sungai yang seringkali melarang warga bertani, tetapi memberi kelonggaran bagi pembangunan hotel. “Kita harus bersiap dengan klaim hukum, belajar sebelum konflik agraria benar-benar menimpa kita,” tambah Henrika.
Kritik atas Kebijakan Negara
Iwan Nando Samosir dari KSPPM menyebut petani dan masyarakat adat korban perampasan tanah lewat penetapan kawasan hutan. Menurutnya, Perda Masyarakat Adat dan Perda Perlindungan Petani masih butuh pengawalan serius.
“Perlindungan seharusnya jadi tanggung jawab negara. Tapi negara absen, makanya kita bergerak. Asuransi pertanian pun sebaiknya ditanggung APBD, bukan dibebankan ke petani,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa akar persoalan agraria tak lepas dari warisan kolonial dan kebijakan Orde Baru, termasuk UU Penanaman Modal Asing yang membuka jalan bagi perusahaan besar seperti TPL. “Mari terus berjuang. Petani mulia bukan sekadar istilah, tapi harus diwujudkan dengan penguasaan tanah dan sumber daya,” pungkasnya.
Pemerintah Akui Kendala
Perwakilan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Samosir, SH Manik, menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat. Ia mengakui enam kecamatan di Pulau Samosir rentan gagal panen akibat krisis air.
“Kami sering terkendala dengan dinas lain dan pemerintah pusat. Tapi kami tetap berupaya memperjuangkan kebutuhan masyarakat. Fluktuasi harga hasil pertanian juga jadi masalah bersama, di luar kendali kami,” ujarnya.
Manik menambahkan, kebijakan nasional kerap membuat dinas pertanian di daerah serba terbatas. “Kami pun merasa dibodohi kebijakan negara. Tapi kita harus tetap berjuang mewujudkan kedaulatan petani,” katanya.
Suara Petani dari Desa
Sejumlah petani turut bersuara. Golat Simbolon dari Desa Sijambur menyinggung sejarah kontrak lahan dengan Indorayon yang merugikan petani. Ia menegaskan gerakan Tutup TPL akan terus digelorakan.
Petani lainnya, Tiamida Sipayung, mengeluhkan harga panen yang kerap anjlok. “Seperti berjudi.(Kasman Naibaho)
Komentar